3 Fakta Kehidupan di Jogja yang Nggak Semanis Romantisasinya. Kebahagiaan? Wkwkwkwk~
Sebelum Anda membaca artikel ini sampai habis, pastikan dulu Anda dalam keadaan sehat. suasana hati apa yang baik. Bukan antitesis, tapi saya ingin menggambarkan sisi lain Jogya yang selama ini diromantisir, termasuk saya sebelumnya. Jadi jangan marah dulu, apalagi bilang “Ya kalau tidak suka silahkan tinggalkan…1!!1.”
Soalnya, kalau Bumi Pasundan tercipta saat Tuhan tersenyum, Jogja “katanya” juga tercipta dari rindu, angkringan dan puisi (halah). Sungguh, bukan masalah besar. Hingga suatu hari saya merasa harus berbagi sisi lain dari romansa. Baca perlahan, luangkan waktumu Lur~
1. “Jogya murah untuk hidup, murah untuk makan, semuanya murah.” Sini sinijangan bilang faktanya dulu~
Tugu Jogja / Foto: Visitingjogja via visitjogja.com
Sebagai seorang pemuda yang telah menjalani seluruh hidupnya di kota ini, saya telah mendengar lebih dari sekali atau dua kali banyak alasan mengapa orang tinggal di Jokya karena hal ini. Gambar bahwa Yogya sebagai kota dengan biaya hidup yang rendah menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk barunya. Apalagi jika yang dimuliakan adalah soal angkringan, rindu dan lain-lain.
Ya memang benar jika Anda bisa makan di Jogye dengan harga yang sangat murah. Bayangkan saja, untuk 10 ribu rupiah kamu bisa makan 2 bungkus nasi kucing, lauk pauk lengkap dengan segelas es teh. Namun semua itu hanya bisa ditemukan di gerobak angkringan. Jika Anda memiliki sedikit lebih banyak uang, Anda juga bisa makan warmindo dengan sisa uang yang bisa Anda peroleh. menggantung rokok.
Padahal, kalau makan di warung makan biasa tidak ada bedanya dengan kota lain atau harganya sama. Kalau tidak mau Senin-Kamis di Angkringan, Jumat-Minggu di Borjuis. Tidak masalah ~
2. “Jogya nyaman, aman dan tenang, yang terpenting istimewa!” Pernahkah Anda bertemu sekelompok klise di jalanan?

Jogja klitih group / Foto: hashtag via www.tagar.id
Tidak dapat disangkal bahwa Yokya memang kota yang istimewa. tertawa terbahak-bahak rakyat Pemimpin tidak pernah berubah. xixixi. Orangnya juga ramah-ramah, apalagi di kampung-kampung, kalau belum saling kenal cukup senyum dan sapa. Tapi tunggu dulu, di balik semua ini, ada hal yang mungkin mengganggu warga Jokya sendiri.
Kata “nyaman” mungkin masih masuk akal, tapi bagaimana jika aman? Mengko Dhisik, Lur. Jika anda salah satu pemerhati grup Facebook Info Cegatan Jogja pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah klise. Sekelompok anak pengangguran yang senang berjalan-jalan dan kemudian menyapa pengguna jalan lainnya masih terlantar. tergila-gila?!
Belum lagi apakah Anda berpapasan dengan organisasi partai selama musim politik atau apakah itu bisa menjadi duel antar kelompok penggemar sepak bola. Jangan salah paham, suasana sepakbola di sini tidak kalah kerasnya dengan di luar negeri.
3. Beliau berkata, “Meskipun upah minimum rendah, tingkat kebahagiaan masyarakat Jogji tidak diukur dengan uang!” Vkkvkkkk Remuox ndaa~

Pokoknya narimo ing pandum. dengan menggunakan twitter.com
Ungkapan bahwa kebahagiaan penduduk Jogji tidak diukur dengan uang adalah utopis untuk keseratus kalinya, yang hampir bosan saya dengar. Dengan gaya hidup yang pas-pasan, tidak berjiwa petualang dan bahkan tergolong sederhana, gaji UMR Jogya terkadang terdengar sangat tidak masuk akal. Bukan soal syukur, tapi dengan uang sebanyak itu, hidup di Jogye jadi lebih mahal, harga tanah terus naik, apalagi kalau putus asa. rabi alias pernikahan. Rabio Karo Gapuro, Bvus~
Sekarang realistislah, dengan gaji standar 2 juta kurang sedikit, akan terasa masuk akal dan pantas jika setiap hari membawa bekal dari rumah, memiliki Wi-Fi, tidak pernah sakit dan Kesepian, menyendiri tinggal di rumah. Tapi benarkah selama sebulan Anda menjamin tidak akan sakit? Setidaknya masuk angin, atau mungkin diare karena makan sembarangan. Omong-omong, biaya BPJS itu mahal.
Perlu juga diingat bahwa menurut Riskesdas 2013, Yogya termasuk dalam kategori kota dengan tingkat gangguan emosi tertinggi setelah Jawa Barat. Itu baru gangguan emosi, kalau bicara gangguan jiwa menurut data yang sama, Jogya juga menempati posisi tertinggi. Sebab? Sedang – ekonomis. Begitulah Anda terus berkata: “Kebahagiaan orang Jogji tidak diukur dengan uang.” Vkkkkkkkk~